Archive for December, 2009

Semalem masih kaget dengan berpulangnya Gus Dur, dan hari ini kita dihadapkan pada the last day on 2009. Jam 12 udah lewat, jam 01.45 pagi kebangun ma suara dari ibunya Nares yang nahan sakit, tapi lha koq ketiduran lagi, ternyata benar, ngantuk mengalahkan segalanya.

Jam 4 lewat, wah udah wajib bangun nih, keadaan semakin gawat n teringat tugas sebagai suami siaga. Sholat Shubuh, siap-siap dikit aja truz langsung cabut ke bidan yang rumahnya 3 kilometer kurang dikit.

Mentari itu muncul juga, meski sedikit malu karena terkadang terlihat dari balik mendung, mungkin dia ikut berduka juga ya dengan meninggalnya Gus, mentari terakhir di 2009.

Masih bukaan tujuh katanya, tapi sakitnya minta ampun, dan akan diperiksa tiap satu jam kemudian, wah-wah coba aku bisa meriksa sendiri pasti udah tak cek tiap lima menit udah bukaan berapa.

Jam 06.45, jam yang sama dengan lahirnya Nares, akhirnya bener-bener terwujud juga pelangi tiga warna di hidupku, hari pertama Zakhary Ibnu Bayanaka, lelaki yang luar biasa dan selalu ingat akan Allah. Hari pertama Zakhary Ibnu Bayanaka, hari terakhir di tahun 2009.

Tangismu seolah membenarkan nama yang kami siapkan bahwa kamu adalah yang luar biasa dan akan selalu ingat Allah, menjadi yang terhebat, yang siap bersuara lantang ke dunia, tentang keadilan yang semakin samar terdengar, tentang kebenaran yang tertutup oleh kebathilan yang dibenarkan. Menangislah Nak, teriaklah Nak, tunjukkan pada dunia, bahwa kamu adalah yang luar biasa yang selalu ingat akan Allah.

Adzan ditelinga kananmu dan iqomah diteliga kirimu yang kusuarakan adalah penegasan bahwa sebelum kau keluar di dunia kau telah berjanji, dan janji itu kuperdengarkan lagi, janji akan selalu meng-Esakan Allah, Muhammad adalah Rasul Allah, Sholat, semuanya akan menuju kebahagiaanmu kelak Nak.

Teriakkan lantang pada dunia lelakiku …

Zakhary Ibnu Bayanaka …

Anak lelaki yang luar biasa dan selalu ingat akan Allah …

Menjadi satu warna dari Pelangi Tiga Warna Hidupku …

Dwi Andriany Eka Yudha …
Kanaka Nareswari Nijananda …
Zakhary Ibnu Bayanaka …

kasih tiada tara … (masih spc. hari ibu)

Posted: 22 December 2009 in family
Tags:

Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering meratapi nasibnya memikirkan anaknya yang mempunyai tabiat sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mabuk, dan melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Ia selalu berdoa memohon, “Tuhan, tolong sadarkan anak yang kusayangi ini, supaya tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati.” Tetapi, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya.

Suatu hari, dia dibawa kehadapan raja untuk diadili setelah tertangkap lagi saat mencuri dan melakukan kekerasan di rumah penduduk desa. Perbuatan jahat yang telah dilakukan berkali-kali, membawanya dijatuhi hukuman pancung. Diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan di depan rakyat desa keesokan harinya, tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu membuat si ibu menangis sedih. Doa pengampunan terus dikumandangkannya sambil dengan langkah tertatih dia mendatangi raja untuk memohon anaknya jangan dihukum mati. Tapi keputusan tidak bisa dirubah! Dengan hati hancur, ibu tua kembali ke rumah.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat telah berkumpul di lapangan pancung. Sang algojo tampak bersiap dan si anak pun pasrah menyesali nasib dan menangis saat terbayang wajah ibunya yang sudah tua.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Namun setelah lewat lima menit dari pukul 06.00, lonceng belum berdentang. Suasana pun mulai berisik. Petugas lonceng pun kebingungan karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Saat mereka semua sedang bingung, tibatiba dari tali lonceng itu mengalir darah. Seluruh hadirin berdebar-debar menanti, apa gerangan yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul dan menggantikannya dengan kepalanya membentur di dinding lonceng.

Si ibu mengorbankan diri untuk anaknya. Malam harinya dia bersusah payah memanjat dan mengikatkan dirinya ke bandul di dalam lonceng, agar lonceng tidak pernah berdentang demi menghindari hukuman pancung anaknya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung-raung menyaksikan tubuh ibunya terbujur bersimbah darah. Penyesalan selalu datang terlambat!

Kasih ibu kepada anaknya sungguh tiada taranya. Betapun jahat si anak, seorang ibu rela berkorban dan akan tetap mengasihi sepenuh hidupnya. Maka selagi ibu kita masih hidup, kita layak melayani, menghormati, mengasihi, dan mencintainya. Perlu kita sadari pula suatu hari nanti, kitapun akan menjadi orang tua dari anak-anak kita, yang pasti kita pun ingin dihormati, dicintai dan dilayani sebagaimana layaknya sebagai orang tua.

Bila hidup diantara keluarga ataupun sebagai sesama manusia jika kita bisa saling menghargai, menyayangi, mencintai, dan melayani, niscaya hidup ini akan terasa lebih indah dan membahagiakan.

etika itu …

Posted: 21 December 2009 in family
Tags: ,

Umurnya baru sebelas tahun, dan setiap kali ada kesempatan, dia pergi memancing di dermaga di depan kabin keluarganya di sebuah pulau di tengah sebuah danau di New Hampshire.

Syahdan menjelang dimulainya secara resmi musim penangkapan ikan bass, anak laki-laki itu dan ayahnya memancing di awal senja.

Mula-mula mereka hanya berhasil menangkap sunfish dan perch (sejenis ikan air tawar) dengan umpan cacing. Namun ketika malam datang, joran anak itu melengkung. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang sangat besar tersangkut di ujung pancing. Segera saja ia menarik-ulur senar.

Dari jauh, ayahnya mengamati dengan kagum saat anak lelaki itu dengan tangkas menangani tangkapannya di sepanjang lantai dermaga. Ia melihat anaknya benar-benar sosok yang gigih dan tak mudah menyerah.

Pertarungan ternyata hanya berlangsung sebentar. Setelah bertahan dari menit ke menit, melawan tarikan dan uluran joran, ikan itu kelelahan. Ia pasrah ketika anak itu mengangkatnya keluar dari air.

Olala! Tangkapannya memang benar-benar seekor ikan yang besar. Anak itu berteriak kegirangan melihat hasil tangkapannya. Itu ikan terbesar yang pernah dilihatnya.

Tapi itu ikan bass!

Si anak lelaki dan ayahnya mengamati ikan yang indah itu di bawah sinar rembulan. Insangnya bergerak-gerak, membuka dan menutup.

Sang ayah lalu mengambil korek api, menyalakannya, dan melihat arlojinya. Sudah pukul 22.00 — tepat dua jam sebelum musim penangkapan ikan bass dimulai. Dia melihat ikan bass itu, lalu ke anak lelakinya.

“Kau harus mengembalikannya, Nak,” katanya. (more…)