Mantre Mantrika …(5)

Posted: 24 April 2014 in kiss my math

Dan gitar itupun direbut olehnya.
Atas nama keseniorannya, diserahkanlah secara sukarela gitar itu.
Mengalun lembut suaranya.

Sejak pertama kali ku menyimpan rasa ini
Sesungguhnya ku tahu ku tak mungkin milikimu
Ku bukan yang sempurna dan bukan sosok idamanmu
Tapi jiwaku dan ragaku seluas cintaku

“Ga kalah emang sama suaranya Fandy Kerispatih,” pikirku dalam hati.

Biarkan aku yang membuktikan
Biarkan aku yang menunjukkan
Cintaku adalah perjuangan
Pertandingan hidup dan matiku

Hmmmm…
Aku tahu kamu menyanyikannya untukku Mas, lirik lagu dan lirikan matamu sudah mengisyaratkan itu.
Mundur ke waktu itu.
“Jadi, kalo balik lagi ke konsep untuk nyelesaiin soal ini ya pake rumus itu Dik,” terang lelaki itu ke Ratri, temanku, “U n sama dengan a ples n min satu be,” dan yang tertulis di kertas itu adalah Un = a + (n-1)b.
“Kalo soalnya diketahui barisan Aritmatika dengan suku ke tiga belasnya itu empat puluh, dan suku ke delapan sama dengan dua puluh lima, berarti untuk tahu suku ke sepuluhnya ya pake rumus yang tadi,” jelas lelaki itu lagi, dia yang aku usulkan pada Ratri untuk tempat bertanya, sedang aku tak punya cukup nyali untuk menyapanya, aku hanya memandang kagum, sedikit banyak sebenarnya aku tidak memperhatikan apa yang dijelaskan dan ditulisnya itu, mungkin Ratri yang bener-bener memperhatikan penjelasannya.
Aku tetap memandangnya, tajam matanya, kemerahan bibirnya, garis-garis wajahnya, dan dia tetap berkonsentrasi pada apa yang ditulisnya, “U tiga belas sama dengan a ples n min satu berarti dua belas b sama dengan empat puluh, nih jadi persamaan pertama nih.”
“Terus yang satunya, U delapan sama dengan a ples delapan min satu b sama dengan dua puluh lima, ini yang jadi persamaan ke duanya,” lanjut Mantrika, yang tertulis di kertas itu adalah U8 = a + 7b = 25 ….(2)
“Nah terus kita eliminasi, kita kurangkan persamaan satu dan duanya.”
“Nih kan habis,” sambil menunjuk a yang dikurangi a, Ratri tetap memperhatikan walau sebenarnya aku yakin dia sudah menguasai hal beginian, sedang aku, tetep memperhatikan dia yang sedang menjelaskan.
“Dua belas b dikurang tujuh b berarti lima b sama dengan empat puluh dikurang dua lima,” sambil menulis lima belas.
“Nah sudah deh, lima belas kita bagi lima, kita dapatkan nilai b nya sama dengan tiga.”
“Nilai b yang sama dengan tiga kita zuzizuzi ke persamaan dua aja kali ya?” tanya Mantrika seolah tak membutuhan jawaban, medengar kata zuzizuzi, aku dan Ratri sontak tertawa.
“Subtitusi kali,” Ratri menimpali di sela tawanya.
“Hahaha… subtitusi itu sudah biasa, ini kan yang njelasin orangnya luar biasa jadi harus zuzizuzi,” timpal Mantrika tak mau kalah tertawa.
“Nilai a kita dapatkan sekarang, dua puluh lima dikurang dua satu, empat.”
“Nilai a dapet empat, b nya ketemu tiga, nah untuk mencari U sepuluh tinggal kita masukkan ke rumus awal ya,” potong Ratri, aku hanya manthuk-manthuk berusaha memahami, sebenarnya soal-soal setipe ini tidak membuat kesulitan kita-kita yang berstatus mahasiswa matematika, tujuan kita menanyakan soal ini adalah barangkali Mantrika punya cara lain untuk meyelesaikannya, tapi sungguh konsentrasiku tidak pada apa yang sedang kalian bahas.
“Ih, pinter banget adik Ratri, sekolah TeKa dimana dulu?” sahut Mantrika yang diikuti tawa kami.
“U sepuluh berarti sama dengan empat ditambah sembilan kali tiga sama dengan tiga pulu atu ya Bang,” kataku tiba-tiba.
Dia terlihat bertepuk tangan, tersenyum, dan mendaratkan cubitan halus di daguku, “Eh, pinter juga nih eneng Praba yang jegeg, kirain ga merhatikan dari tadi.”
Sungguh, saat itu jantungku sedang berlarian tak tentu arah, dia menyebut namaku berhias pujian jegeg, dan sentuhan jarinya ke daguku secara langsung menyebabkan kakiku bagai dirambati ribuan semut, tertegun walau sesaat untuk kemudian memaksakan sesungging senyum dari bibir ini.
“Bentar, sekarang lihat ini dulu,” sela Mantrika tiba-tiba mengalihkan ketertegunanku.
“U tiga belas tadi berapa?” tanyanya.
“Empat puluh,” jawab Ratri.
“U delapan kan dua puluh lima ya?” pertanyaan sejenis ini yang lagi-lagi tidak membutuhkan jawaban.
“Kalo empat puluh dikurang dua lima jadi?” nah sekarang dia bertanya dan memandang ke arahku, mau nggak mau aku menjawab.
“Berapa tadi?” duh malunya, kelihatan kalo nggak merhatikan.
“Lima belas,” untung Ratri cepat-cepat menjawab seolah tak sabar.
“Tiga belas dikurang delapan itu lima,” lanjut Mantrika.
“Menghitung nilai b nggak usah pake eliminasi zuzizuzi lagi,” nah zuzizuzi lagi yang muncul.
“Terus?” Ratri mengejar penasaran.
“Cukup bagi aja lima belas sama lima, didapat tiga kan,” akhir kalimat yang diikuti bibir kami berdua yang agak monyong tapi bersuara.
“Oooooo…”
“Sebentar…sebentar,” potongku.
“Kalo dibalik bagaimana?” tanyaku.
“Nah, menarik nih,” balas Mantrika.
“Dua puluh lima dikurang empat puluh kan minus lima belas,” sambungku.
“Delapan dikurang tiga belas, minus lima, jadinya kalo dibagi, minus lima belas dibagi minus lima kan sama dapet tiga juga kan.”
“Iyaaaaaa…. Benul sekali…!!!” teriak Mantrika diikuti acungan dua jempolnya.
“Eh, iya, kalo dibalik sama aja ternyata,” tegas Ratri dengan wajah tak kalah sumringah.
“Hehehe… pada pinter-pinter nih, sekarang kembali ke U sepuluhnya,” puji Mantrika.
“Nah untuk cari U sepuluh lagi-lagi nggak perlu cari nilai a sebagai suku awalnya,” jelas Mantrika lagi.
“Terus pakai apa?” tanyaku kini yang mulai penasaran juga.
“U sepuluh bisa kita dapatkan dari U delapan ditambah dua kali beda, berarti dua puluh lima ditambah dua kali tiga, enam, zamizareng tiga puluh satu kan, sama tuh dengan cara konsepnya,” jawab Mantrika dengan senyumnya yang menarik, melihat ada kosa kata aneh yang diucapkan dengan dialek bahasa asing, aku dan Ratri bertatapan.
“Zamizareng…?” tanyaku dan Ratri bersamaan.
“Hahahaha… itu kan bahasa gaol nya sama dengan,” jawab Maantrika sembari tertawa.
Aku dan Ratri masih bertatapan tanda nggak ngerti.
“Sudah nggak usah bingung,” kata Mantrika menenangkan.
“Sami itu kan artinya sama, sareng kan dengan, so, sami sareng itu sama dengan, gitu lho,” lanjut Mantrika.
Aku langsung tertawa, tak kalah Ratri pun terkial-kial dibuatnya, ada-ada aja Mas yang satu ini.
“Kalo seandainya pakai yang U tiga belas, yang empat puluh itu?” tanyaku seketika dengan masih terlihat jelas jejak tertawanya.
“Boleh aja, kalo U tiga belas yang dipakai berarti untuk mencari U sepuluh harus dikurangi tiga kali beda.”
“Empat puluh dikurang tiga kali tiga, sembilan, jadinya tiga satu, nah, sama lagi kan.”
“Hehehe…” tutup penjelasan dengan lagak sok keren memandangku, sedang aku yang dipandang, tetap aja masih susah mengatur degup jantung, berdetak lebih cepat, seperti genderang yang mau perang kata Dewa.
“Eh, ini cara cepet ya” tanya Ratri yang masih keheranan.
“Bukan, cara Mantrika,” jawab Mantrika sekenanya.
“Eh Mas, caranya keren, ajari aku cara yang lain donk,” rajuk Ratri yang entah mengapa menimbulkan rasa tak sukaku akan kelakuaannya.
“Untuk bisa cara-cara seperti ini ada mantranya, mantre kalo orang Bali bilang,” dengan aksen Balinya Mantrika melirik ke arahku, jawaban senyum lah yang bisa aku berikan.
“Mantre Mantrika…. Hehehe.”
“Tapi ingat cara konsep juga jangan kita lupakan,” Mantrika mengingatkan.
“Beneran asik lho cara gini, jauh lebih cepet, kan Matematika jadi lebih keliatan Fun, ga banyak rumusnya ya Praba?” tanya Ratri memandang ke arahku.
“Ehem,” jawaban pendek dariku.
“Kapan-kapan akan aku ajari cara-cara fun yang lain,” kata Mantrika.
“Beneran, janji?” kejarku.
Mantrika tidak berkata hanya mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya bersamaan, diikuti senyumnya.
Aku dan Ratri juga tersenyum karenanya.
Dalam hati, aku tak boleh kalah sama Ratri, harus aku duluan yang mendekatinya, bukan untuk cara-cara cepet itu, tapi dia yang memiliki cara cepat.
Pesonamu hari itu, sungguh meninggalkan jejak jelas di hatiku Mantrika.

Ku tak akan henti melakukan
Sebelum semua kau sadari
Tak pernah salah ku mencintamu, memujamu
Asalkan kau lihat hatiku

Akhir lirik lagu diikuti lirikannya sekali lagi mengarah padaku, jauh dikedalaman hatiku, namamulah yang terpatri disitu.

nyang komen mari silahkan...