Siang itu, hari minggu, kami semua ke rumahmu.
Setelah beberapa minggu kau terbaring di rumah sakit, tak ada yang bisa kau lakukan selain bernafas.
Kondisimu pun terus menurun, banyak orang bilang kau terkena dampak makhluk halus Lapindo.
Memang tidak bisa terpungkiri, sifatmu berubah total sejak melubernya lumpur itu.
Sifatmu menjadi uncontrolled, terkadang menjadi anak kecil, terkadang menjadi seorang tua dengan tenaga hebat.
Pun masih teringat ketika minggu pagi itu kita semua direpotkan dengan berita hilangnya kau. Aku kebagian tugas menyisir jalan Surabaya – Porong, mbakku, berinisiatif tanya ke orang-orang pinter (katanya). Siang itu kau ditemukan beberapa anak mahasiswa yang mempunyai insting bahwa kau bukan orang gila, melihat kau terjatuh, baju robek, kaki berdarah, mereka menemukanmu sedang berjalan ke arah Juanda. Tidak ada yang menyangka bahwa tempat inilah nantinya yang menjadi tempat terakhir keberadaan jasadmu.
Kau tampan, olahragawan, aku masih ingat foto hitam putihmu bermain sepak bola di stadion Tambaksari.
Terlahir dari bapak keturunan Cina, ibu seorang indo Belanda – Cina, rasanya percampuran yang pas untuk menghasilkan keturunan yang tampan. Ketampananmu pasti membuatmu mudah menaklukkan wanita, dari istri (sah) pertamamu, kau mendapatkan dua anak, lelaki dan perempuan, dari wanitamu yang lain kau mendapatkan beberapa anak, seperti cerita sinetron saja, salah satu dari anak itu baru mencari bapaknya, yaitu kau, setelah berusia lebih dari tiga puluh tahun.
Salah satu anakmu pernah bercerita kepadaku, kebiasaanmu, kenakalanmu di masa lalu menyebabkan istri pertamamu meninggal dunia. Tragis memang, semoga saja kau berubah setelah itu.
Jalan Ngeri, begitu aku dan mbakku menyebutnya, tepatnya sekarang ada di Simo, jalanan depan puskesmas itu, dulu jalannya begitu menukik, dengan sepeda Kebo kesayanganmu, aku kau bonceng di depan, istri dan mbakku kau bonceng di belakang, darah terasa berdesir hebat untukku, untuk mbakku, untuk anak-anak seusia kita waktu itu. Kenangan akan jalan itu akan abadi seperti kenangan kami akanmu.
Siang itu, hari minggu itu, kami semua ke rumahmu. Lihatlah!
Lihatlah, cicit pertamamu pun hadir, terlahir dari rahim mbakku, cucu pertamamu.
Hari itu kita semua bercanda di dekatmu, membetulkan posisi bantalmu, infusmu, betapa kamar tidur itu telah dipermak dengan adanya beberapa peralatan rumah sakit.
“Tenang aja, Mbah Sri kami jaga,” sepenggal kata-kata penutup kami di hari itu, kau menangis, kau menangis, kau meresponnya dengan menangis.
Malam itu aku datang ke rumahmu, melihatmu dimandikan, didandani, memakai setelan jas hitam.
Keesokannya, dengan dua prosesi, Budha dan Nasrani (keyakinanmu) jasadmu dimasukkan dalam peti, maaf, maafkan aku, aku tidak bisa menghadiri itu, aku lebih memilih hadir di prosesi perabuanmu tiga hari kemudian.
Perabuanmu, di Juanda, Jala Pralaya, sebuah tempat yang hampir kau kunjungi waktu itu.
Dilepas dengan prosesi Nasrani, diantar dengan nyanyian doa Budha, dan kita tutup dengan Al-Fathihah. Menurutku, hal itu lebih megah dari upacara Ngaben di Bali.
Tiga hari setelahnya, tetap iringan doa kita dan nyanyian doa para Budha itu, abumu dilarung ke laut.
Beberapa hari setelah itu, beberapa bulan setelah itu, aku masih setia menemani istrimu ketika dia ingin menemuimu di Selat Madura, lihatlah, betapa kerinduan yang mendalam di sana, selalu terlihat tangis saat tangan-tangan istrimu menabur bunga di tengah laut itu.
Aku akan menjaganya, jangan kuatirkan itu. Aku akan selalu berusaha menjaganya, jangan kuatirkan itu.
Rest in Peace, My Grand Pa, Mbah Tik …