Archive for March, 2012

Siang itu, hari minggu, kami semua ke rumahmu.

Setelah beberapa minggu kau terbaring di rumah sakit, tak ada yang bisa kau lakukan selain bernafas.

Kondisimu pun terus menurun, banyak orang bilang kau terkena dampak makhluk halus Lapindo.

Memang tidak bisa terpungkiri, sifatmu berubah total sejak melubernya lumpur itu.

Sifatmu menjadi uncontrolled, terkadang menjadi anak kecil, terkadang menjadi seorang tua dengan tenaga hebat.

Pun masih teringat ketika minggu pagi itu kita semua direpotkan dengan berita hilangnya kau. Aku kebagian tugas menyisir jalan Surabaya – Porong, mbakku, berinisiatif tanya ke orang-orang pinter (katanya). Siang itu kau ditemukan beberapa anak mahasiswa yang mempunyai insting bahwa kau bukan orang gila, melihat kau terjatuh, baju robek, kaki berdarah, mereka menemukanmu sedang berjalan ke arah Juanda. Tidak ada yang menyangka bahwa tempat inilah nantinya yang menjadi tempat terakhir keberadaan jasadmu.

Kau tampan, olahragawan, aku masih ingat foto hitam putihmu bermain sepak bola di stadion Tambaksari.

Terlahir dari bapak keturunan Cina, ibu seorang indo Belanda – Cina, rasanya percampuran yang pas untuk menghasilkan keturunan yang tampan. Ketampananmu pasti membuatmu mudah menaklukkan wanita, dari istri (sah) pertamamu, kau mendapatkan dua anak, lelaki dan perempuan, dari wanitamu yang lain kau mendapatkan beberapa anak, seperti cerita sinetron saja, salah satu dari anak itu baru mencari bapaknya, yaitu kau, setelah berusia lebih dari tiga puluh tahun.

Salah satu anakmu pernah bercerita kepadaku, kebiasaanmu, kenakalanmu di masa lalu menyebabkan istri pertamamu meninggal dunia. Tragis memang, semoga saja kau berubah setelah itu.

Jalan Ngeri, begitu aku dan mbakku menyebutnya, tepatnya sekarang ada di Simo, jalanan depan puskesmas itu, dulu jalannya begitu menukik, dengan sepeda Kebo kesayanganmu, aku kau bonceng di depan, istri dan mbakku kau bonceng di belakang, darah terasa berdesir hebat untukku, untuk mbakku, untuk anak-anak seusia kita waktu itu. Kenangan akan jalan itu akan abadi seperti kenangan kami akanmu.

Siang itu, hari minggu itu, kami semua ke rumahmu. Lihatlah!

Lihatlah, cicit pertamamu pun hadir, terlahir dari rahim mbakku, cucu pertamamu.

Hari itu kita semua bercanda di dekatmu, membetulkan posisi bantalmu, infusmu, betapa kamar tidur itu telah dipermak dengan adanya beberapa peralatan rumah sakit.

“Tenang aja, Mbah Sri kami jaga,” sepenggal kata-kata penutup kami di hari itu, kau menangis, kau menangis, kau meresponnya dengan menangis.

Malam itu aku datang ke rumahmu, melihatmu dimandikan, didandani, memakai setelan jas hitam.

Keesokannya, dengan dua prosesi, Budha dan Nasrani (keyakinanmu) jasadmu dimasukkan dalam peti, maaf, maafkan aku, aku tidak bisa menghadiri itu, aku lebih memilih hadir di prosesi perabuanmu tiga hari kemudian.

Perabuanmu, di Juanda, Jala Pralaya, sebuah tempat yang hampir kau kunjungi waktu itu.

Dilepas dengan prosesi Nasrani, diantar dengan nyanyian doa Budha, dan kita tutup dengan Al-Fathihah. Menurutku, hal itu lebih megah dari upacara Ngaben di Bali.

Tiga hari setelahnya, tetap iringan doa kita dan nyanyian doa para Budha itu, abumu dilarung ke laut.

Beberapa hari setelah itu, beberapa bulan setelah itu, aku masih setia menemani istrimu ketika dia ingin menemuimu di Selat Madura, lihatlah, betapa kerinduan yang mendalam di sana, selalu terlihat tangis saat tangan-tangan istrimu menabur bunga di tengah laut itu.

Aku akan menjaganya, jangan kuatirkan itu. Aku akan selalu berusaha menjaganya, jangan kuatirkan itu.

Rest in Peace, My Grand Pa, Mbah Tik …

Inem, di mana kamu Nem?

Posted: 21 March 2012 in family

Susah … Susah mencari Inem di jaman sekarang ini …

Kurang enak apa coba klo ngInem di rumahku …

Pekerjaan rumah, jarang banget, rumah udah bersih, disapu sehari sekali masih kelihatan bersih …

Dipel, cukup seminggu sekali sodara-sodara …

Nyuci, jelas tiap hari, tapi pake mesin cuci lho …

Nyetrika, oke, agak berat deh, soale saiya sendiri paling ogah dengan namanya menyetrika …

Ngemong anak kecil, inilah pekerjaan utamanya, ngemong baby, yang belum genap berusia enam bulan …

Paling selepas maghrib udah bisa nyantai banget …

Fasilitas; kamar sendiri (mosok yo tidur bareng), belum bisa pasangin AC, sementara kipas angin dulu, ada Tipi-nya lho, kamar mandi sendiri pula, menarik kan …

One more thing, masakan ibuku adalah kuliner paling mak nyos sodara-sodara …

Inem yang pertama namanya Tini, jebolan pondok asal Lumajang, sudah pada cocok semua, eh, gara-gara urusan cowok akhirnya gak dibolehin kerja sama keluarganya, alhasil keluar deh setelah kerja kurang lebih tiga bulan …

Inem yang kedua, namanya Ayu, baru Sabtu kemaren dateng, eh minggu minta balik, katanya gak sanggup coz pekerjaan utamanya ngasuh anak kecil, hiyah, susah banget, kan sudah dibilangi di awal kalo pekerjaan utamanya ngemong anak kecil …

Kenapa musibah terjadi secara beruntun ya, ga hanya cari Inem yang susah, tetapi Ibuku …

Kakinya masih bengkak karena jatuh hari minggu, bapakku, juga masih penyembuhan akibat kecelakaan ke dua …

Ya Allah, nyuwun …

Di mana kamu Nem???

kau …

Posted: 21 March 2012 in family

Masih kuingat wajahmu ketika itu …

Hampir genap empat tahun, tepatnya akhir April 2008, ketika Suamimu meninggalkan dunia ini, selama-lamanya …

Kau seperti tidak terima, karena suamimu dipanggil tepat saat kau lagi mandi, kau pun menyesal tidak dapat menemani saat terakhir suamimu, padahal kita semua tahu, betapa hari-harimu sebelumnya telah kau isi dengan pengabdian penuh merawat suamimu.

Suamimu, menurut ceritamu adalah suami ketigamu, yang pertama, kau dinikahkan ketika usia dua belas tahun, saat itupun menstruasi belum kau dapatkan, entah mengapa tak ada akhir cerita yang kudapatkan tentang suami pertamamu, mungkin aku akan bertanya ketika aku kesana, berkunjung ke tempatmu, secara rutin, sungguh, aku ingin itu, mengunjungimu secara rutin.

Begitupun dengan yang kedua, hampir-hampir tak ada kisah yang pernah terucap selain anak dari hasil pernikahan ini, anak yang kau relakan untuk dibawa orang lain ketika himpitan ekonomi terasa menusuk. Masih kuingat terkadang terucap lirih ada kerinduan yang dalam akan anakmu, berharap anak itu menjemputmu, untuk tinggal bersamanya, beberapa kali pula kau rapal dalam doamu akan pengharapanmu itu.

Suamimu yang ketiga, aku tahu dia adalah orang yang tampan di masa mudanya, anak keturunan, bapak cina dan ibu indo belanda-cina, menikah denganmu dengan membawa dua anak biologis dari istri sebelumnya, dan dua lagi yang baru terakui di kemudian hari. Orang yang keras terhadap anak-anaknya tapi sangat penyayang kepada cucunya.

Aku juga masih ingat saat itu, saat aku menyalakan musik keras-keras untuk menutupi suara-suara piring yang kau banting saat pertengakaran dengan suamimu, pertengkaran yang disebabkan efek puber ke dua suamimu.

Kepergian suamimu memang tak lama setelah kami bilang kepadanya, beberapa minggu sebelumnya, berbisik bahwa tidak usah khawatir, kami semua yang akan merawat kau. Sungguh aku malu, aku tidak bisa sesering mengunjungimu seperti yang aku ucap dan harapkan.

Kini, di usiamu yang semakin senja, bahkan kau sendiri sebenarnya tidak tahu berapa pastinya usiamu, kau sendiri.

Sering kau memintaku untuk mengantar ke selat madura, untuk menabur bunga di laut, tempat di mana abu suamimu ditaburkan, kita semua tahu, prosesi ini sangat bertentangan dengan keyakinan nasranimu, kau menginginkan jasad suamimu dikuburkan, agar engkau tahu dimana bisa menemui suamimu kelak, disamping itu semua adalah bagian keyakinanmu. Aku selalu mengiyakan sambil mengatur waktu yang pas, tapi sering kau kembali membatalkan karena kau kasihan denganku, akan letihnya aku, akan kesehatanku, meskipun kupaksa pun percuma, seandainya kau tahu, aku tidak mempedulikan itu semua, letihnya aku, kesehatanku.

Kini kau sendiri, menikmati kesendirianmu, menunggu dan menunggu, menunggu saat itu datang, menemui suamimu, menunggu saat aku dan yang lain datang menjenguk, sembari menyibukkan diri dengan kegiatan gereja.

Gereja, aku tahu, desa Ngoro, Mojokerto, tempat kau dilahirkan bukanlah desa berbasis nasrani, kau muslim, awalnya, sekali lagi himpitan ekonomi di masa lalu yang menyebabkanmu menjadi pengikut nasrani yang taat.

Kini kau sendiri, ingin sesering mungkin aku menemanimu, tetapi hal itu sangat sulit terjadi, hanya sebulan dua atau bahkan sekali aku kesana, sesungguhnya kunjungan yang sangat-sangat kau harapkan.

Binar di matamu, dari tubuh bungkukmu, tak dapat membohongi itu, hanya dengan menyodorkan sebotol teh, kau sangat bahagia.

Kau sangat bahagia …

Kami memang tidak memiliki keterikatan darah denganmu, tapi yakinlah, kami semua sangat menyayangimu …

Always …

My Grand Ma, Mrs. Sriana …