Mantre Mantrika … (3)

Posted: 11 April 2014 in kiss my math

Mat Mantrika, lahir di Pamekasan, Madura, tapi sejak SD sudah tinggal di Surabaya, jadi medok Maduranya sudah ga kelihatan lagi, jejak Maduranya hanya pada nama.

Menyebut namaku saja aku agak kurang pede tuh, jelas banget kalau dari kawasan Blok M.

Saat ini berstatus mahasiswa semester akhir jurusan Pendidikan Matematika di salah satu Universitas Negeri di Surabaya.

Namanya juga mahasiswa semester akhir, sudah selayaknya jawaban yang diberikan ketika ada pertanyaan sedang apa sekarang, maka dengan lugas dijawab, lagi ngerjain skripsi.

Lah, boro-boro skripsi, ide harus menggarap skripsi dengan tema apa aja masih diawang-awang koq, kadang juga ketutup mendung, jadinya tambah gak kelihatan.

Dan, kedatanganku ke Kemah Bakti Mahasiswa tahun ini mengandung berbagai tujuan, diantaranya, cari inspirasi skripsi, halah, kalo yang ini mah kedok, hehehe…

Next, tujuan berikutnya, ngecengin mahasiswa baru, sapa tahu ada yang kesambet satu yang cakep, ini alasan jujur nih.

Berikutnya, pengen deket sama cewek itu, Prabawati, Ni Luh Prabawati nama lengkapnya, cewek Bali itu, dia juga ikut sebagai panitia, yah meskipun cintaku sudah ditolak tapi rapopo, meskipun kini dia jalan sama temen seangkatannya, Bayu, aku juga masih rapopo. Sory, ada pengakuan, sebenarnya aku nembak Prabawati disaat statusnya masih sebagai kekasih Bayu, kata orang nothing to lose. Sapa tahu dengan Prabawati lihat aku di sana dia jadi sadar, bahwa benernya aku menyimpan potensi kecakepan yang ga kalah sama Bayu. Inilah menurutku alasan jujur dari hati yang paling dalam kenapa aku harus ikut dalam Kemah Bakti Mahasiswa Baru ini.

Alasan yang terakhir, karena diundang ketua panitianya, maklumlah, sebagai yang senior dan sering luntang lantung tanpa tujuan di kampus, mungkin ketua panitia kasihan aku kurang kerjaan jadinya diajak, lumayan lah bisa bantu berdiriin tenda atau angkat-angkat konsumsi.

Hari pertama, di bumi perkemahan Coban Talun, Malang, lancar sesuai perkiraan, tenagaku cukup berguna untuk membantu mendirikan tenda-tenda, membantu mengangkat konsumsi, sound system, walah beda tipis lah sama kerja nguli.

Malam harinya, dikala menunggu mahasiswa baru itu dibangunkan untuk acara tengah malam, aku menggerombol ke rombongan panitia yang membunuh waktu menunggu saat itu tiba, alasan aku ke sana jelas sekali, ada Prabawati dan Bayu yang tak nampak di dekatnya, segera saja kuraih gitar yang dipegang adik tingkatku dan kumainkan sebuah lagu sambil melirik ke arah gadis Baliku, dia hanya tersenyum tipis, lagu kedua mengalun, lincahnya tanganku memainkan gitar dengan skill klasikan sekaligus suaraku yang kubuat-buat seindah mungkin, semua terdiam, sekali lagi aku melirik ke arah Prabawati, dan balasan senyum tipis lagi yang kudapat.

Selepas dua lagu yang keluar berikutnya adalah uapan dari mulutku, ya Allah, aku mengantuk sekali, mungkin karena kecapekan, jadi aku langsung ngacir ke tendaku, nggak enak dilihat sama Prabawati, masa performku dihiasi uapan-uapan ini, kan ga seru jadinya.

Mestinya ini saat bisa ngeceng di depan mahasiswa baru yang dibentak-bentak panitianya, lha koq malah kebablasan tidurnya, haduhhhhh, sekalipun tubuh dibekap hawa dingin yang menusuk tulang, lelapnya tidur tetap tak berkurang.

Pagi-pagi buta sudah kebangun, bukan karena hawa dingin tapi perut yang sakitnya ga ketulungan, gara-gara kecapekan, ketiduran tanpa pake kaos kaki plus sepasang kaki cantikku yang menyembul keluar tenda, kloplah, malam itu sukses memberi makan nyamuk dan diberangus dingin malam, alhasil masuk anginlah daku ini.

Hari kedua, hampir seharian disibukkan dengan urusan toilet, hari itu bener-bener berakrab ria dengan yang namanya toilet, minyak angin, dan obat-obatan tolak angin. Benar-benar aku tidak mau ketemu dengan Prabawati dalam keadaan seperti ini. Dan malam itu aku tidak tidur di tenda melainkan di mushola dekat perkampungan, lumayanlah lebih terasa hangat dari pada tidur di tenda bumi perkemahan atas. Tanganku merogoh saku bajuku untuk mencari sesuatu, kutarikan tanganku tepatnya dua jempolku di atas sesuatu itu, setelah selesai tersenyumlah aku, sekarang terpampang di layar Q10 ku, “Alhamdulillah, sudah mendingan,” seepppp, dan ga ada yang peduli, aku rapopo.

Pagi hari setelah sholat Subuh dan setelah memastikan tidak ada pergolakan dari dalam perut untuk dikeluarkan maka aku bergegas menuju bumi perkemahan kembali, bergabung dengan yang lain pada hari terakhir kegiatan kemah bakti ini.

Jauh juga perjalanan dari Mushola ke bumi perkemahan tempat kami, hal yang aku rasakan juga ketika berlari menuju Mushola kemarin, bedanya sekarang berjalan santai sedang kemarin berpacu dengan sesuatu yang akan keluar from my bottom. Maka sesampainya disana matahari sudah menampakkan dirinya.

Teringat akan Prabawati, sesal kemudian tiadalah guna, kenapa aku tidak mandi waktu di mushola tadi ya, mulut pun baru sempat berkumur dengan air wudhu, duh kenapa baru kepikiran sekarang yak.

Segera setelah memasuki tendaku, ku obrak-abrik isi tasku untuk menemukan sikat dan pasta giginya, aku ga peduli meski kegiatanku itu mengganggu anak-anak yang masih tidur, setelah ketemu bergegaslah aku keluar untuk menuju sungai yang ga jauh dari tempat itu.

Dengan posisi jongkok agak menyembunyikan diri di batu besar kumulai kegiatanku, muncul pemikiranku, andai saja aku ketemu Prabawati saat ini ya, hhhhmmmm. Selesai dengan urusanku aku berdiri dan berbalik badan, tak kusangka Prabawati yang berjalan melamun menuju sungai otomastis kaget melihatku sudah berdiri di depannya, mungkin karena kaget itulah tak sengaja kakinya melangkah pada batu yang licin dan terpelesetlah ia, mengetahui hal ini secara sigap kuraih tubuhnya agar tidak ambyur di air, sebuah rengkuhan yang cepat kulakukan untuk menyelamatkannya, tak dinyana dibelakang Prabawati muncullah Bayu, dan seketika itu juga kulepaskan tanganku yang mendekap tubuh Prabawati.

“Hei, Kau lagi!!!!” teriaknya mengagetkan.

“Berusaha mencuri kesempatan kau ya…!!!” teriaknya lagi.

“M…m…m… tidak, aku ga bermaksud…”

Belum selesai yang aku katakan, Bayu langsung melompat sambil genggaman tangannya terarah ke wajahku. Berusaha menghindari pukulannya aku mundur dengan cepat, sial, aku menginjak batu licin yang tadi juga sempat terinjak Prabawati, jatuhlah aku tanpa ada yang menolong, tanpa rengkuhan pertolongan Prabawati yang berdiri mematung di sebelahku. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, jatuhku ke sungai pada posisi yang nggak pas, kepalaku terbentur sebuah batu besar itu, benturan yang tergolong keras.

Dan, semua menjadi sangat-sangat gelap.

nyang komen mari silahkan...