Archive for April, 2012

Reminding

“… masalah salah satu dari kita adalah masalah kita semua…”

“… BASI!!! madingnya udah siap terbit!!”

“… bila emosi mengalahkan logika, bener kan banyakan ruginya Cinta…”

“… pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh…”

“… jadi kalo elo merasa asing ditempat seperti ini, itu salah gue? terus kalo lo ga punya temen itu juga salah gue? salah temen-temen gue?”

“… elo tuh bener-bener sakit jiwa!!..”

“… saya sayang sama kamu…”

“…jadi kamu gak jadi pergi kan?”

And now

Syahdan di satu tempat, di satu waktu, di sebuah bandara.

Terlihat seorang cowok sedang berlari, mengejar sesuatu, berpacu dengan waktu, sesekali terlihat sedang melirik arloji sambil terus berlari.

“Cinta… Cinta…!!!” begitu teriaknya ketika menemukan seseorang yang dicarinya, walaupun jaraknya masih beberapa meter di depan.

Seseorang yang disebut Cinta pun menoleh, “Rangga…!” katanya setengah berteriak keheranan.

Tidak memberikan waktu untuk bergerak, langsung saja Cinta juga berlari menghampiri Rangga dan memeluk tubuh pria muda itu.

Cinta dan Rangga, dua muda-mudi jatuh cinta semasa SMA, harus berpisah karena Cinta musti menuruti keinginan orang tuanya untuk melanjutkan studi di luar negri.

Rangga bertahan di Indonesia, dengan suatu penantian, penantian yang entah kapan akan berakhir.

“Janjiku Rangga, aku akan kembali, aku akan kembali, demi kamu, demi kita,” kata Cinta, Rangga terdiam sesaat, hanya sesaat sebelum tangannya merengkuh tangan Cinta, mendekatkan bibirnya ke bibir Cinta dan …

(tiiiiittttttt)

(maap ya, sensor ya, biasanya kalo di cerita tipi-tipi yang nampak adalah pemandangan bandara, pesawat Garuda yang lagi take off, orang-orang yang lalu lalang sambil bawa tas, nyeret tas, orang jualan pecel, jualan lumpia, beberapa anak bawa gitar sambil nyanyi-nyanyi, sek ta… ini bandara apa terminal bis ya?).

(Balik lagi …)

“Aku akan menunggumu, kepastian akan penantianku hanya untukmu Cinta,” bisik Rangga, disambut senyuman oleh Cinta.

Begitulah, perpisahan sore itu, dengan pemandangan bandara seperti biasanya, satu dua pesawat yang take off dan landing, ditambahi siluet-siluet warna oranye di langit. (more…)

Syahdan di satu tempat, di satu waktu, di pesisir pantai.

“Sob, ini akan menjadi hari terakhirmu di sini ya?” tanya Biang mengisyaratkan kekecewaan.

“Iya Sob, minggu depan papaku sudah harus berada di tempat tugasnya yang baru, bisa runyam urusannya kalo dia tidak ada di tempat kerjanya yang baru minggu depan,” jawab Abi.

Dua sahabat bersahabat ini, Abi dan Biang, sedari kecil mereka berkawan akrab, sama-sama tinggal di daerah kampung pesisir pantai.

Abi, seorang pendatang, datang ke tempat itu sekitar sebelas atau dua belas tahun yang lalu, karena pekerjaan seorang ayah yang dia sebut papa.

Biang, asli penduduk pesisir pantai ini, terlihat jelas garis keturunan dari moyangnya yang seorang pelaut handal, atau biasa disebut juga sih dengan nelayan. Pekerjaan yang sedari dulu melekat sebagai budaya keluarga.

Kedua orang tua mereka pun juga akrab, karena kesamaan, sama-sama punya anak yang sepantaran, dan memasukkan ke sekolah Taman Kanak-kanak yang sama, pun juga sama-sama bertempat tinggal berdekatan, ya meskipun lokasinya nggak deket-deket banget, tapi setidaknya dari halaman rumah mereka masing-masing dapat melihat pantai yang sama, dan laut yang sama pula, tapi tak dapat dipungkiri perbedaan status ekonomi keluarga mereka.

Abi dan Biang, tumbuh bersama, sebagai dua orang sahabat, sedari kecil, sedari TK, SD, lalu SMP.

Seperti suratan takdir telah digariskan, Abi, seorang yang cerdas dan pintar di sekolahnya, selalu menjadi rangking satu dalam hal akademis, akan mengikuti orang tuanya, papanya pindah dinas ke kota besar, yang artinya peningkatan karir yang lebih tinggi.

Biang, seorang anak yang biasa-biasa, atau bahkan mungkin terlihat lebih rendah dalam hal akademis dibanding teman-temannya, akan ditempa kedua orang tuanya, dan sanak family yang lain menjadi seorang pelaut yang handal (baca: nelayan).

“Sob, ayo kita berenang!” ajak Biang.

“Gila kamu, yang lain aja,” elak Abi.

“Hahaha, sudah lebih sepuluh tahun kau tinggal disini, masih saja nggak becus urusan yang satu itu,” ejek Biang.

“Hari sudah sore Sob, lihatlah, langit memerah, matahari mulai menghilang, kita balap lari saja ke rumahku, aku yakin mamaku sudah menyiapkan masakan enak buat kita, khususnya buat kamu,” gantian Abi menantang.

“Wokeh, bolehlah,” setuju Biang.

Terlihat sesosok dua bocah menjauhi pantai, menuju satu rumah, yang tidak bisa dibilang mewah, tapi memang terlihat lebih daripada rumah-rumah di sekitarnya.

“Sob! Ingat ini bukan perpisahan, suatu saat, suatu saat nanti aku akan kesini lagi, aku akan temui kau kawan!” Teriak Abi, sembari terlihat lambaian tangan seorang anak yang diajak bicara, Biang, berlari menjauhi rumah kawan karibnya.

Begitulah akhir kebersamaan persahabatan selama, TK, SD, SMP, terjalin begitu akrab diakhiri pada suatu malam, dengan back sound adzan Isya. Keesokannya, Abi sekeluarga meninggalkan tempat itu, tempat tinggal mereka selama ini. Biang, tak kelihatan lagi ketika mobil keluarga Abi meninggalkan daerah pesisir pantai, pagi itu.

Setahun berlalu, dua tahun, tiga tahun … (more…)