Mantre Mantrika … (4)

Posted: 12 April 2014 in kiss my math

Kerajaan Gralia.

Aku tidak tahu dimana kini dan pada masa apa aku berada sekarang, negeri ini terlihat dikelilingi gunung, bukit-bukit menggantung yang mengingatkanku akan film Avatar, ada atau tidak daerah ini di bumi aku juga kurang jelas, satu hal yang harus aku paksakan untuk aku yakini yaitu kini aku berada pada dimensi ruang yang berbeda.

Terbaca dari penuturan cerita Mpu Pradamba, negeri ini terletak di semenanjung Calculia, dimana ada tiga kerajaan besar disini, Kerajaan Gralia, Kerajaan Diffransia, dan Kerajaan Militia, satu dan yang lainnya terpisah selat yang tidak terlalu luas, jadi bisa disimpulkan satu kerajaan menghuni satu pulau tertentu, kata anak matematika, inilah korespondensi atu-atu hehehe…, walau antar pulau terpisah selat tetap bisa dilihat dengan mata telanjang.

Mpu Pradamba kini bisa menerimaku, mulai mempercayai bahwa aku bukanlah Mahisa Mantrika yang dia maksudkan, kami saling bertukar cerita siapa kami masing-masing sembari berjalan mengelilingi sekitar rumah dari Mpu ini, terlihat dari baju-baju yang aku dan orang-orang kenakan agak mirip dengan baju-baju pada jaman kerajaan kuno.

“Beberapa usaha telah kita lakukan untuk memulihkan kembali kondisi kerajaan Gralia,” demikian penuturan Mpu Pradamba.

“Usaha terakhirmu dengan Araraja sewaktu menghadap Raja adalah usaha keenam,” lanjutnya.

“Enam???” tanyaku heran.

“Setelah Araraja tertangkap seperti ini, dan kau meskipun secara fisik adalah Mahisa Mantrika, aku tak tahu usaha apa lagi untuk memperbaiki negeri ini,” terdengar nada kecewa dari seorang Mpu tua itu.

“Kita tidak boleh menyerah,” ungkapku berbinar menyemangati.

Mpu Pradamba terlihat juga menunjukkan air muka cerah, “Iya….”

“Kita baru melakukan enam kali usaha, Regina aja untuk bisa memenangi Indonesian Idol butuh tujuh kali audisi Pak Mpu,” aku mulai menemukan kata-kata motivasi yang tepat.

Yang aku ajak bicara merubah wajahnya menjadi penuh tanda tanya, “Regina? Siapa dia?”

Ups, aku lupa kalo saat ini aku berada di dunia berbeda, nggak jadi deh kata-kata motivasinya.

“Piss, sorry pak Mpu, dia adalah wanita bersuara merdu di negeriku,” sambil jari tanganku mengacungkan dua jarinya, tengah dan telunjuk.

“Hmmmm… Wanita bersuara merdu ya…” jari tangannya juga mengikuti jari tanganku.

“Kita pulang!!! Aku lapar,” perintahnya tiba-tiba.

Lha, ya ini, sama, perutku sebenarnya sudah lapar, kita berdua memang berbicara agak lama jadinya ya perut sudah keroncongan bahkan mungkin dangdutan, segera saja aku tersenyum lebar.

Kami berdua berjalan belakang membelakangi dengan pak Mpu berada di depan, “Oh ya, jangan panggil aku dengan pak Mpu, tidak enak didengarnya, cukup Bopo saja,” meski dia berbicara tanpa menoleh, aku tahu yang dia maksud adalah berbicara denganku.

“Njihhh Pak Mpu… eh, Bopo Mpu,” jawabku.

Perjalanan yang tidak begitu lama karena memang tadi obrolan hanya berada di sekitar rumah saja, cukup sekali menuruni bukit yang tidak terlalu tinggi namun lumayan curam, sampailah kita ke rumah dimaksud.

Alhamdulillah makanan sudah disiapkan sama Istri Bopo Mpu, aku tak tahu nama aslinya, sekilas aku mendengar orang-orang memanggilnya Nyai Pradamba, makanan yang tersaji terkesan seadanya tapi istimewa menurutku, karena lapar semua terasa istimewa.

“Ini ayam bakar paliwang, makanlah! Kalo kurang pedas itu ada glecing.”

“Hah, ayam bakar taliwang, plecing, aku berada di Lombok?” aku sedikit tak percaya, tak ada reaksi apa-apa dari orang yang aku ajak bicara, berarti cuman hanya ada di pikiranku saja.

Sembari makan yang ditemani Nyai Pradamba kami melanjutkan pembicaraan kembali, ngalor ngidul cerita-ceritanya mengenai Gralia, Diffransia, dan Militia, aku hanya bisa mengangguk-angguk kadang tak memperhatikan, satu hal yang aku harus fokus, ayam bakar paliwang itu, Bopo Mpu yang banyak bicara, aku yang banyak makan hehehehe…

Secara tiba-tiba Mpu dan Nyai Pradamba meletakkan piringnya, melihat ada sesuatu yang aneh yang muncul dari mataku.
“Jagat Dewa Batara,” kata mereka hampir bersamaan.

Aku sendiri merasa ada sesuatu di mataku, langsung kukedip-kedipkan sembari kuusap sekali dengan pundakku.

“Sinar di matamu yang muncul barusan…,” Bopo Mpu tak melanjutkan kata-katanya.

“Kau adalah orang itu, kekasih dewa yang akan muncul untuk merubah kondisi Gralia yang carut marut,” lanjut Nyai Pradamba.

Segera saja Bopo Mpu mencuci tangannya, dan beranjak dari dipan tempat makan.

“Mantrika…!!! Ikut aku…!!!” perintah Bopo Mpu dengan cepat aku terjemahkan dengan sikapku yang langsung mengakhiri makan, mencuci tangan, dan mengikuti kemana Bopo Mpu.

Duh, ayam taliwangku, plecing yang baru sekali kusentuh.

Aku berjalan mengikutinya hingga ke samping rumah, ditempat itu ada beberapa batu besar, dari salah satu batu yang tidak terlalu besar, ditengahnya terdapat kaca yang juga tidak terlalu besar juga, boleh dikata kecil, seukuran tablet tujuh inch.

Bopo Mpu Pradamba mendekati kaca itu, diusapnya sekali, menyentuh beberapa kali, dan kemudian terlihat berbicara dengan kaca itu.

“Masya Allah, itu tablet beneran, sekarang dia sedang Skype-an,” aku takjub tidak percaya.

“Ya Allah, aku berada di mana ini?”

Bopo Mpu asyik dengan kegiatannya tidak menghiraukan rasa takjubku.

“Baik kakang, aku bawa dia kesana sekarang,” ucap Bopo Mpu mengakhiri pembicaraan dengan seseorang itu.

“Ayo Mantrika, kita harus melakukan perjalanan agak jauh, ada seseorang yang harus kita temui terkait sinar yang muncul di wajahmu itu,” ajak Bopo Mpu tiba-tiba.

“T…t…tapi, apa itu tadi Bopo?” tanyaku sambil menunjuk batu berkaca yang bisa Skype-an itu.

“Jangan ndeso, itu kan Mirroib, miliknya Prabawati,” jawab Bopo tegas.

Aku langsung mendekat pada kaca itu sambil bergumam, “Mirroib… Mirror ajaib,” kataku ngepas-ngepaskan.

“Bagaimana cara menggunakan ini?” tanyaku lagi.

Bopo Mpu langsung menghampiriku, melakukan sesuatu pada kaca itu, diusap-usapnya sambil berkata, “Jangan ndeso-ndeso.”

Aku langsung menepuk jidat, dan merogoh sesuatu di saku bajuku, eh ternyata aku tidak memakai baju atas yang artinya benda putih berkeypad qwerty yang jadi kekasihku selama ini tidak ikut terbawa olehku, maksud hati ingin update status, apa daya tak ada gadget buat hati pupus.

Kini yang aku hadapi adalah tablet tujuh inch yang tertanam dalam batu, “Ini pakai OS apa Pak? Android, bebe, apa IOS?” tanyaku nyerocos lupa akan segala hal yang sudah terjadi.

Yang ditanya hanya melotot saja, “Droid? Bebe? Apa itu semua?”

Ya, sudahlah, aku hanya geleng-geleng kepala, percuma saja nanya nih orang.

“Wah ini pakai kartu apa ya? GSM apa CDMA?, berarti bisa bisnis pulsa nih,” otak bisnisku mulai muncul.

“Bisa instal aplikasi PPOB nih harusnya, wah bisnisku bisa jalan juga disini,” teringat akan bisnis PPOB ku, usaha yang keuntungannya ga seberapa tapi bisa berwujud Q10 ku hehehe.

“Beli dimana alat seperti ini Bopo?” tanyaku tanpa menoleh ke arah Bopo Mpu.

“Di pasar, di tempatnya bu Marini,” jawabnya tegas.

“Marini, apa ini moyangnya Marina, sehingga namanya dijadikan Plaza di Margorejo itu?”

“Sudah Mantrika, kita tidak boleh membuang waktu,” kata Bopo membuyarkan imajiku.

Inginku berpaling sampai aku melihat ada folder foto disitu, langsung ada jari tanganku touch down di folder itu, dan kulihat foto selfie seorang gadis.

“Subhanallah, bagaikan pinang dibelah dua dengan Prabawatiku, cantik sekali.”

Mpu Pradamba mendekat, “Itulah Prabawati.”

Segera saja dia meraih pundakku, mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan berkata setengah berteriak, “Bersumpahlah untuk menyelamatkannya Mantrika!!! Bersumpahlah untuk mengembalikan kemakmuran Gralia…!!!”

Aku diam membisu.

“Jika kau menyelamatkannya, aku berjanji akan segera menikahkan kau dengannya.”

Aku langsung terkaget, “Hah, menikah, Sumpah Loe Ciyusss Nie.”

Mpu Pradamba yang mendengar, “Apa? Sumpah Lociyusni? Apa itu bahasa asalmu untuk menepati janji?”

“Baiklah,” Mpu Pradamba segera melepaskan tangannya dari pundakku, ternyata dengan kesaktiannya, hanya sekali sentak batu besar didekatnya meledak, kekuatan dari alam bawah sadarnya cukup dahsyat.

Ledakan batu itu terlampau kuat, debu-debu dan kerikil yang berhamburan membuat secara reflek aku harus melindungi kepalaku. Setelah ledakan terlihatlah sekarang pada batu itu muncul sebuah tulisan.

“Aku telah membuat prasasti pada batu, Sumpah Lociyusni, sumpah seorang Mantrika yang akan menyelamatkan Prabawati, dan akan membawa Gralia kepada kemakmurannya, Sumpah ini kelak akan dikenal dan dikenang orang.”

Okehhhh…

Seorang Gajah Mada dengan kerennya menamai sumpahnya dengan Sumpah Palapa. Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, dan Jong yang lain-lain menyatu pada 28 Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemudanya, lha aku.

Sumpah Loe, Ciyussss Nie.

nyang komen mari silahkan...